Tersimpan Dalam Kotak Kenangan : 1
Sore ini hujan
mengguyur ibukota dengan derasnya tanpa memberikan jeda untuk ornag – ornag
menyelamatkan diri dari serbuannya. Aku bukanlah salah satu dari orang – orang
yang saat ini sedang berlarian dengan paniknya mencari tempat untuk berteduh
atau mereka yang melangkah lebih cepat menuju tempat yang ditujunya.
Aku mengehela nafas lelah.
“Selalu saja seperti ini.” Batinku
menggerutu.
Iya… Sampai saat ini, fenomena ini masih
menjadi msteri yang belum terpecahkan, aku tidak tahu apakah ini murni kuasa
tuhan atau mungkin sesuatu yang lain, seakan – akan ia berusaha mengingatkan
sebuah misteri yang belum terselesaikan atau sebuah janji yang tidak
terwujudkan.
Mengusap wajahku lelah, kepalaku
menengok ke jendela satu arah yang membentang luas daiantara dinding. Melalui
jendela itu, netraku dapat menjelajahi luasnya dunia diluar sana dan terkadang
membuatku tenggelam dalam imajinasi panjang yang cukup sulit untuk dicari
ujungnya, entah itu menerawang masa depan atau memikirkan masa lalu yang kini
tinggal kenangan.
22 Juli 2020, tanggal ini
menunjukkan tepat lima tahun sudah kejadian yang mengubah persahabatan diantara
aku dan empat sahabatku, kini persahabatan kami tidak lagi sama, ibarat
masakan, masakan itu kehilangan cita rasa karena penyedap tidak ditambahkan
dalam masakan itu. Tidak hanya itu, 22 Juli 2020 menunjukkan lima tahun sudah
aku resmi tinggal sendiri tanpa ada yang mewarnai apartemen yang aku tinggali
sejak awal kuliah ini.
Kusandarkan punggungku ke sandaran
kursi yang berada tepat di samping jendela.
“23 Juli.” Gumamku sendu.
Ya…. 23 Juli, satu hari yang benar –
benar tidak ingin aku lewati, ingin rasanya aku melompati hari ini, jika tidak
aku berharap aku bisa tertidur saja dan ketika aku bangun, matahari di 24 Juli
yang menyapaku.
Bersama hujan yang semakin mengguyur
deras di 22 Juli ini, ingatanku kembali mengembara di kejadian lima tahun silam,
kejadian yang merubah hidupku hingga
saat ini.
Flash back
Diumurku yang ke dua puluh dua ini
aku rasanya menjadi orang yang paling bahagia, hidupku terasa sangat lenkap
walau tanpa hadirnya kekasih hati. Orang tua yang selalu mengerti dan
mendukungku, sahabat – sahabat yang selalu mewarnai hari – hari dan teman
sekamar sekaligus sahabat yang paling dekat denganku yang tidak pernah absen
membuat hariku menjadi lebih bermakna. Mungkin, jika dibandingkan dengan
sahabatku, pekerjaanku tidaklah seberapa jida dibandingkan dengan teman –
temanku yang lain, namun aku sungguh mensyukurinya, setidaknya dengan
pekerjaanku ini aku masih bisa memenuhi kebutuhan hidupku selama ini dan bahkan
terkadang berlebih.
Tania, sahabat sekaligus room mateku,
kami menganugerahinya sebagai ratu dengan kehidupan yang sempurna, jika ada
seseorang bertanya kepada kami ‘siapa diantara kami yang memiliki pekerjaan
paling mapan ?’ maka kami akan menjawabnya Tania, jika orang itu bertanya lagi
‘siapa diantara kalian yang memiliki masa depan paling cerah ?’ tentu kami akan
menjawab Tanai dengan serempak dan jika orang itu masih bertanya lagi ‘Siapa
diantara kami yang akan menikah dalam waktu dekat ?’ Dan tidak diragukan lagi
kami akan menjawab Tania.
Tania, dia adalah manusia yang paling
ceria diantara kami berlima, senyumnya, tawanya, selalu menghiasi hari – hari
kami terlepas beban berat yang ditanggungnya ketika menjalani pekerjaannya,
tetapi sejauh aku mengenalnya tidak ada satupun orang yang pernah membencinya
dan setiap kami berjalan bersama, pasti kami akan menemui orang yang akan
menyapanya kemudian bebincang akrab dengan kami.
Tania… Aku selalu mengaguminya dan
menyayanginya, tidak pernah satu haripun ia melepaskan senyum mengantung di
wajahnya dan ketika melihatnya semangatku bertambah berkali – kali lipat.
Sayangnya…..
14 Juli aku merasakan ada sesuatu
yang salah dengan sahabatku ini, ia masih tersenyum dan tertawa seperti
baisanya, namun pandangannya tidak lagi sama seperti sebelumnya, seperti ada
sesuatu yang menggangu pikirannya.
“Nia…” Sapaku dengan tangan melambai
di hadapan wajahnya.
Sepuluh kali lambaian dan ia sama
sekali tidak kembali dari dunianya yang tampaknya sangat menarik, atau justru
sangat berat. Menghela nafas lelah, akirnya kusentuh lembut tangannya untuk
menarik dirinya kembali ke dunia ini.
“Nia… Are you okay?” Tanyaku penuh perhatian dan terseyum tulus padanya.
Ia tampak berfikir sejenak kemudian
mengganguk, aku tahu ini pasti ada apa – apa, terkadang aku merasa kesal dengan
sifat tertutupnya yang tidak banyak berkurang selama empat tahun kami hidup
bersama. Tetapi aku bisa berbuat apa ? semakin aku memaksanya semakin ia tidak
ingin menceritakannya padaku.
“Kau tahukan kalau aku selalu di
sini untukmu.” Kuusap perlahan tanganya kemudian kembali menyendok omelet yang
sudah kuanggurkan.
Ia ternsenyum dan mengangguk. Aku
tahu, senyumnya tidak sama dengan biasanya, ada sesuatu yang salah disenyum
itu, namun aku tidak ingin memaksanya, biarlah ia siap untuk menceritakan
bebannya.
Setelahnya tidak satupun dari kami
yang membuka obrolan untuk memulihkan atmosfer aneh yang menyelimuti kami,
mungkin hanya aku yang merasakannya karena aku lihat selama sarapan
berlangusung ia sibuk dengan pikirannya dan tidak terlihat tanda – tanda ia
akan membagiakan apa yang saat ini tengah menggelayuti pikirannya.
“Ge… Mungkin malam ini aku akan
pulang cukup malam dan jam sembilan malam nanti aku mau pergi ke villaku.”
Ungkapnya.
Villa yang dimaksud oleh Tania
adalah Villa yang berada diantara perkebunan teh di Jawa Barat.
“Pulang dulu atau langsung cabut ke
sana ?”
“Pulang dulu.” Jawabnya dengan jelas
dan tidak berniat untuk menjelaskan lebih jauh.
“Bareng siapa ke sana ?”
Aku merasa ada yang aneh ketika ada
jeda sebelum ia menjawab pertanyaanku.
“Sama temen kantor, Rafa juga ikut.”
Aku mengangguk mengiyakan, jika ia
bersama dengan Rafa maka aku percaya dia akan baik – baik saja. Rafa adalah
orang yang berhasil memikat hati sahabatku ini sejak kami menginjakkan kaki di bangku
universitas dan sejauh yang aku tahu, Rafa jugalah orang yang paling memahami
dan dekat dengan Tania.
“Hati – hati ya nanti dan jangan
lupa kabari aku.”
Tania memberikan anggukan sebagai jawabannya,
sejujurnya aku ingin bertanya lebih lanjut, tetapi melihat kondisinya saat ini
aku mengurungkan niatku dan biarkan ia menceritaknnya ketika ia sudah siap.
Dan terima kasih juga buat yang udah dengerin keluh kesahku selama proses pembuatannya hahahahahaha
BTW masih ada delapan lembar lagi dan itupun belum selesai :))
Komentar
Posting Komentar