Selepas Hujan Sore Itu: To Push My Limit

            Sebuah senyuman tersungging dengan manis di wajahku, aku sudah tidak lagi mengingat berapa kali senyuman ini muncul di wajahku seharian ini. Jika aku tidak salah ingat, senyumku pertama kali mengembang ketika seminggu yang lalu kuterima sebuah undangan bewarna biru muda bertuliskan nama lelaki yang selama ini mengisi hatiku. Tepat ketika undangan tersebut terpampang jelas dihadapanku, kebagaian lansung mengisi setiap relung hatiku, tidak ada satupnn tempat dalam hatiku yang tidak meneriakkan ‘aku bahagia’. Rasanya hari itu adalah hari yang paling membagiakan dalam hidupku.

Akhirnya…….

Melalui cermin yang berdiri kokoh dihadapanku, aku melihat sosok ayahku yang rupawan diuasainya yang sudah tidak lagi muda berjalan dengan senyum bahagia bercampur kegetiran di dalamnya. Aku segera berbalik menatap sosok lelaki yang sudah membesarkanku tanpa mengenal rasa lelah sama sekali dengan senyum yang masih setia menggantung di wajahku.

“Hai ayah….” Sapaku sembari meraih tangannya ketika ayah menghentikan langkahnya dihadapanku.

“Ayah mengapa bersedih? Bukankah seharusnya ayah bahagia ketika melihat putri ayah ini bahagia?” Tanyaku sembari mengusap lembut punggung tangannya, mengatakan bahwa aku menyayanginya dan akan selalu menjadi putri ayah yang selalu ayah banggakan.

Aku mengela nafas lembut, selemebut dan sehalus mungkin hingga ayah tidak menyadarinya, aku tahu ayah pasti merasa sebuah kesedihan ketika ayah tahu undangan biru muda itu sampai diatas meja kerjanya, namun ini tidak seperti aku akan menginggalkannya dan tidak akan kembali kesisinya, aku tidak akan pergi kemanapun setelah acara tersebut selesai, aku akan tetap menjadi putri ayah yang akan menangis dipelukannya ketika dunia tidak sesuai dengan yang aku inginkan, aku akan tetap menjadi putri ayah yang akan menaminya ketika ayah membutuhkan seorang teman untuk berdiskusi. Aku akan tetap menjadi putri ayah.

Ayah menghembuskan nafas dengan sedikit berat, tampaknya ayah sedang berusaha membuang sedikit kesedihan yang tertinggal dihatinya. Buktinya, kini ayah kembali dengan senyuman bahagia dan dimatanya tidak lagi kutemukan sorot kesedihan, walau hanya setitik.

“Putri ayah cantik sekali…” Ucap ayah sembari mungsap pipiku lembut. Aku hanya bisa menjawab dengan sebuah senyuman yang semakin lebar di wajahku.

“Ayah harap ini bukan terakhir kalinya ayah akan melihat kamu mengenakan kebaya.” Lanjutnya dengan jemari yang masih setia mengusap pipiku dengan lembut.

Sebelum kesedihan kembali menghampirinya, aku segera meraih tangan ayah dan menggenggamnya dengan lembut dan penuh keyakinan.

“Tentu ayah, tentu.” Jawabku yakin.

Ayah tersenyum lalu membalas genggamanku dan mengajakku segera menginggalkan hotel yang menjadi tempat kami bernaung sejak dua hari yang lalu.

***

Dadaku berdebar tidak karuan, beruntung aku bisa menyembunyikannya dibalik senyum yang terpampang di wajahku, Aku bersyukur, hingga saat ini tangan ayah tidak sekalipun melepaskan genggamannya, aku yakin ayah tahu dan ayah berusaha menguatkan diriku agar aku berani menghadapi takdir yang tengah menunggu di dalam gedung ini.

Kehembuskan nafasku dengan sedikit berat lalu mengangkat daguku dan memandang ke depan, kini aku melihatnya, sesosok lelaki yang telah mengisi hariku hingga detik ini tengah berdiri dengan gagah di atas pelaminan mengenakan tuksedo putih. Di hadapannya terdapat terdapat sebuah meja berbalut kain putih yang dihiasi dengan renda diujung juantaiannya, dan dihadapan meja itu terdapat sebuah kursi yang diduduki oleh seorang lelaki seusia ayahku yang mengenakan peci berwarna putih, kutebak ialah yang akan menikahkan lelaki bertuksedo putih itu bersama dengan gadis pilihannya.

“Ayo sayang…..” Ajak ayahku dengan senyuman dan suara penuh tanpa keraguan kepadaku. Aku tahu ayah sedang berusaha mengatakan padaku bahwa semua akan baik-baik saja.

Akhirnya, dengan menggenggam erat lengan ayah, kulangkahkan kakiku memasuki gedung yang sudah dipenuhi oleh para tamu undangan dan menuju tempat yang sudah disediakan untukku.

***

Aku kembali mengingatnya, sebuah memori lama yang telah menjadi kenangan diatara kami berdua, lelaki yang kini tengah melangkah menuju kursi yang disediakan untuknya adalah seorang sahabat yang sejak kecil sudah mengisi hari-hariku, keluargnya dan keluargaku bahkan sudah kenal dekat, tidak jarang pula aku menghabiskan waktu bersama seorang mama yang notabennya adalah ibu lelaki itu mengingat aku sudah tidak lagi merasakan kasih sayang seorang ibu sejak aku lahir. Hubungan kami memang sedikit rengang semenjak kami memasuki usia dewasa, ia tidak lagi menghabiskan waktunya untuk menemaniku bermain berbie atau masak-masakan dan lebih memilih menghabiskan waktunya bersama teman-teman barunya, Aku sendiri tidak mengerti, ditengah hubungan kami yang sudah mulai renggang, bisa-bisanya kujatuhkan hatiku untuknya, tidak ada seorangpun yang mengetahui fakta ini selain keluargaku, dan aku selalu meminta keluargaku untuk menyimpan hal itu dengan rapat-rapat, biarkan Tuhan yang mengatur takdir untuk kami.

“Tidak apa-apa ayah….. aku yakin Tuhan akan memberikan takdir yang terbaik untukku. Cukup ucapkkan namanya disepertiga malam saja.”

Kalimat itulah yang sering aku ucapkkan lengkap dengan senyuman penuh kerelaan kepada ayah ketika ayah hendak mengkonsultisakan masalahku dengan keluarganya. Aku hanya tidak ingin semua berlangsung secara terpaksa dan rasa tidak enak, dan aku yakin bahwa takdir yang diberikan Tuhan adalah yang terbaik untukku. Hingga akhirnya aku bisa menyaksikan dengan kedua mataku sendiri bahwa lelaki yang selama ini mengisi hatiku tengah…

            “Sah….”

            Satu kata itu menyadarkanku dari kubangan lamunan yang sedari tadi tengah mejebakku. Tanpa sadar seutas air mata lolos dari ujung mataku, dengan segera kuusap air mata itu sebelum ada orang yang menyadari aku tengah menitikkan air mata. Setelah yakin air mata itu tidak akan kembali jatuh, kutatap pemandangan yang ada di hadapanku, dan disana aku tengah melihat lelaki itu tengah tersenyum bahagia bersama dengan gadis yang menjadi pilihan, kini keduanya telah sah menjadi suami istri. Aku tersenyum, dan turut bahagia untuknya, ini artinya aku tidak perlu lagi menahan persaaan ini lebih lama lagi, aku bisa melupakannya dan melanjutkan kembali langkahku tanpa ada bayang-bayang dirinya.

            “Terima kasih Tuhan, terima kasih karena sudah memberikan jawaban atas doa-doaku, kini aku bisa tersenyum kembali dan melepaskan rasa cinta yang sedari dulu singgah dihatiku, sekali lagi terima kasih Tuhan untuk takdir terbaik yang telah engkau berikan untukku.”


---------------------------------

Gak tahu ya tapi rasanya setelah nulis...... akhirnya setelah sekian lama aku nulis lagi, btw ini termasuk rekor nulis dan upload tercepetku. Honestly, yang pertama kali kuupload setelah lama gak nulis bukan ini, tapi malah jadi ini gpp lay ya.....

Okay selamat kembali melanjutkan kehidupan setelah ini, jangan lupa deadline-deadlinennya dikerjain hehehhehehe

Last, ditunggu kritik dan sarannya :)

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Just a Friend: 4

Selepas Hujan Sore Itu: God Knows The best