Just a Friend: 4

    22 Desember….

    Mengingat tanggal ini, senyumku mengembang lebar, kembang-kembang di hatiku bermekaran dan menebarkan semerbak harum. Aku bahagia, boleh kubilang ini adalah salah satu tanggal yang selalu aku tunggu-tunggu.

    Ulang tahunnya Raka…

    Ya, ditangggal 22 Desember, Raka akan bertambah umurnya, biasanya ini akan menjadi momen yang berharga untuk kami berdua. Tentunya aku sudah menyiapkan rencana untuk merayakannya.

    “Tumben putri mama senyam senyum bahagia gitu”Sapa mama sedikit heran.

    Selama ini mungkin hampir beberapa kali dalam seminggu wajahku tampak murung dan moodku hancur. Ya tentunya kalian tahu apa sebabnya. Makanya mama heran dengan diriku pagi ini.

    “Iya dong ma… kan hari ini ulang tahunnya Raka… Jadi Lea harus bahagia….Ya kali pas ngasih kejutan mukaku loyo….” Aku tertawa geli diakhir kalimatku, mamapun juga ikut tertawa.

    “Oh iya titip salam ya buat Raka. Bilang aja kalau mau kado ambil di rumah.” Pesan mama.

    “Siap ma… Nanti aku bilang ke Raka.” Jawabku sumringah lalu berpamitan kepada mama dan meluncur ke sekolah.

***

    “Lea…..” Sapa Rara terlewat bahagia,

    “Kenapasi Ra… Pagi-pagi udah teriak-teriak aja…” Balasku sembari mengusap-usap telingaku, suaranya sungguh cempreng.

    “Tahu gak sih sekarang Raka Ulang tahun?” Tanyanya dengan antusias.

    Dalam hati aku menjawab dengan sebal “Ya pasti aku tahu, ya kali aku udah sahabatan lama sama dia tapi aku gak tahu kalau dia ulang tahun”

    “Ya jelas dong aku tahu Ra….Ya kali aku gak tahu” Jawabku sembari menarik pipinya yang chubby.

    “Mau ngerayain bareng gak?” Ia kembali bertanya.

    Ingginnya aku menolak tawaran itu, tapi sungguh itu tidak mungkin aku lakukan karena bisa memercikkan api peperangan di antara kami, dan aku sungguh membenci ide tersebut.

    “Boleh… emangnya mau gimana?”

    Dan pada akhirnya, momen kali ini bukan milik kami berdua tetapi kami bertiga, aku, Rara dan Raka. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menemerimanya dan merelakan momen yang seharusnya menjadi milik kami berdua.

    “Memang ada lagi yang bisa aku lakukan?” Relaku sembari menghela nafas lelah.

***

      “Aku mau dibawa kemana Le… kenapa pakai ditutup-tutup segala sih Le…” Ucap Raka heran sembari berusaha melepas tanganku.

    “Udah tenang aja Rak…. Gak akan aku masukin jurang kok….” Aku tertawa geli.

    “Okay… Okay aku percaya sama kamu…” Raka menyerah.

    Kini tangannya terkulai lemas disamping tubuhnya dan tidak lagi berusaha melepas tanganku.

    “Nah gitu dong dari tadi napa…. Sekarang jalan aja lurus sampai nanti aku bilang stop.”

    “Siap komandan….” Aku tertawa kecil mendengar jawabannya.

    “Nah sekarang kita hitung bareng-bareng ya…. Nanti pas aku bilang buka baru buka matanya. Okay?” Ucapku ketika sampai ditempat yang kami rencanakan.

    “Shap…” Jawab Raka mengerti.

    “3….” Kami mulai menghitung bersama.

    “2…..”

    “1…..”

    “Sekerang buka matanya…..”

    Kemudian aku menjauh dan berdiri disamping Rara yang saat ini tengah membawakan kue ulang tahun untuk Raka.

    Happy birthday to you…. Happy birthday to you…. Happy birthday….Happy birthday Raka…..”

    Tepat ketika lagu tersebut selesai kami nyanyikan, kami mealangkah menuju tempat Raka saat ini berada.

    “Selamat ulang tahun Raka…” Selamatku dengan senyum mengembang di Wajahku.

    Happy birthday ya Rak…” Ucap Rara yang juga memberikan selamat kepada Raka,

    Aku tahu pasti sekarang Raka bahagia, sorot mantanya menjelaskan semuanya, kalau Raka bahagia, aku juga harus bisa bahagia.

    “Nah sekarang tiup lilinya…”

    “Eits make a wish dulu lah…” Ingatku sebelum Raka meniup padam lilin yang menyala di atas kue ulang tahun.

    Mata Raka terpejam lalu membuat permohonanya, setelah selesai ia membuka matanya dan meniup padam lilin yang ada di hadapannya. Aku bertepuk tangan riang menyambut padamnya lilin tersebut.

    “Terima kasih Lea… Dan terima kasih Rara…” Ucap Raka penuh kebahagian.

    “Nah sekarang saatnya potong kue..” Ujarku ceria.

    Raka mengambil pisau yang terletak di samping kue, memotong kue tersebut dan meletakkannya ke wadah kecil.

    Awalnya aku tersenyum bahagia dan yakin bahwa potongan kue pertama pasti akan diberikan untukku seperti diulang tahunnya yang sudah-sudah, tapi harapanku pupus, ketika aku melihat Raka mengambil kue dari tangan tangan Rara kemudian meletakkanya di meja yang ada di sampingnya. Aku tahu ini bukan pertanda yang baik dan harusnya aku harus menguatkan hatiku.

    “Potongan kue yang pertama ini… aku berikan kepada gadis yang sejak pertama kali aku melihatnya mampu memikat hatiku hingga saat ini, bahkan rasa ini tidak sedikitpun pernah berubah.”

    Raka melangkahkan kakinya selangkah ke depan menuju Rara, ini semakin memperkuat dugaanku bahwa akan ada sesuatu yang terjadi, aku harus semakin menguatkan hatiku, aku tidak boleh lemah, aku harus tetap tersenyum seandainya sesuatu yang tidak aku inginkan terjadi.

    “Dan aku berharap. Ketika gadis tersebut menerima kue ini. Itu artinya dia juga akan menerima cintaku.” Raka menjeda kalimatnya, membuat darah di wajahku perlahan berhenti mengalir.

    “Dan gadis itu adalah kamu Rara Atmajaya…” Ungkap Raka dengan senyum bahagia dan sorot mata pernuh cinta, berharap gadis pujaannya mau menerima cintanya.

    Dan di sini, tepat di samping Rara, aku harus memegang erat serpihan hatiku agar tidak tercecer dan merusak hari bahagia mereka, walau senyum yang sedari tadi terpatri di wajahku kini sirna, tetapi aku berharap setidaknya air mata bodohku tidak akan menitik sekarang hingga perayaan ini selesai.

    Tepat sesuai dengan prediksiku, dengan senyum malu-malunya, Rara menerima kue yang diberikan oleh Raka kemudian mengangguk.

    “Ya aku mau menerima cintamu” Terima Rara.

    Entah siapa yang memulai, kini dua sejoli yang akhirnya resmi berstatus sebagai pacar saling berpelukan.

    Aku menarik nafas lelah lalu mengenakan topeng kebahagian yang untungnya masih bisa kujangkau, aku tersenyum dan bersorak bahagia.

    “Yey….. Akhirnya sahabat dan sepupuku jadian juga…. Congrats ya…. Akhirnya aku gak perlu jadi tempat curhat kalian berdua lagi dong…..Kan udah saling memiliki sekarang.” Godaku pada kdua pasangan tersebut.

    Dengan senyum malu-malu, Rara kembali menyembunyikan kepalanya dipelukan Raka.

    “Sepertinya aku harus segera pergi dari sini. Nanti aku jadi nyamuk buat kalian. So…. Selamat ulang tahun Raka….” Ku tepuk pelan pundak Raka lalu memandang kedua pasangan yang baru jadian ini.

    “Dan selamat akhirnya kalian jadian. Semoga langgeng sampai pelaminan nanti.” Aku berusaha tersenyum setulus dan senatural mungkin kepada mereka.

    Tanpa memberikan waktu untuk mereka melontarkan satu katapun, aku segera melanjutkan kata-kata yang seharusnya sudah kuucapkan sejak tadi.

    “Sampai jumpa… Dan jangan sampai pulang malam-malan…” ucapku menggoda mereka lalu melambaikan tangan kepada mereka tanpa menunggu sepatah kata balasanpun dari mereka.

    Semakin cepat, semakin kupercepat langkahku, ingin rasanya segera meninggalkan tempat yang menjadi sejarah kelamnya cinta pertamaku.

    “Harusnya aku sadar bahwa diantara aku dan dia tidak akan pernah ada kita.”

    Seiring dengan langkahku semakin menjauh, topeng yang sedari tadi aku kenakan akhirnya pecah bersamaan dengan tercecernya serpihan hatiku. Tanpa pernah mengatakan izin, air mata yang selama ini tidak pernah menetes kini menetes juga. Ternyata aku tidak sekuat yang aku bayangkan.

    “Harusnya aku sadar. Aku dan dia tidak akan berkahir lebih dari sekedar teman.”

***

    Disinilah aku, duduk meringkuk di salah satu bangku taman, menangisi kebodohanku selama ini, harusnya aku sadar dari awal, harusnya aku tidak pernah berharap, harusnya aku bisa melupakan dia…….

    “Arhhgggggggggggg” Teriakku berusaha melepaskan rasa sakit yang mejerat hatiku, berharap setidak ia akan berkurang, setidaknya sedikit saja.

    Tanganku terangakat menepuk-nepuk dadaku, air mataku tidak juga berheti mengalir, bahkan bertambah semakin deras saja. Sakit… sungguh sangat sakit, jadi bergini rasanya ketika cintamu tidak tersampaiakan, bahkan orang yang kamu sukai berkahir menjadi sahabatmu dan kini resmi menjadi pacar sepupumu,

    “Bodoh… Bodoh….. Seharusnya aku bisa berusaha lebih keras membunuh perasaan yang menyebalkan ini”

    Kepalaku kembali menyusup di atas tekukan lututku lalu bulir air mata secara bergantian menetes membahasi celana yang saat ini aku kenakan.

    “Hei….Kamu baik-baik saja?” sebuah suara menyapa indra perndengaranku bersamaan dengan tepukan ringan yang aku rasakan di pundak bagian kananku,

    Tidak ada niat sama sekali aku mejawab pertanyaan itu atau hanya sekedar menatap pemilik suara tersebut, aku hanya ingin melampiaskan semua kesedihanku, melupakan dan menghapus perasaan bodoh ini.

    Tenggelam dalam tangisanku yang tidak kunjung mereda, aku masih mampu merasakan seseorang menempati bagian kososng di sebelahku lalu sebuah sapu tangan diletakkan di atas lututku.

    “Jika kamu butuh pundak untuk menangis dan teman untuk berbagi kesedihan, maka aku di sini bersamamu.” Ucapnya penuh dengan kutulusan, aku yakin saat ini, senyum tulus pasti menggantung di wajahnya.

    Mendengar kalimat yang penuh godaan itu, kulepas pelukan erat di kedua lututku, mengalihkan wajah metapanya dan kemudian memeluk tubuhnya erat.

    Aku mungkin ridak mengenal siapa dia, tapi aku bersyukur, setidaknya masih ada seseorang yang bersedia menerima semua air mata yang aku tumpahkan karena perasaan bodoh ini dan bersedia menjadi temanku untuk saat ini.

    “Jika menagis membuatmu merasa lega, maka menagislah… menangislah sepuas yang kamu mau. Tapi setelahnya kamu harus tersenyum dan berjanji tidak akan menangis lagi.” Ucapnya sembari menepuk-nepuk pundakku dengan lembut,

    Dan ya, aku menangis lagi dan lagi bahkan lebih deras dari pada sebelumnya, berharap keperihan yang mendera diriku akan hilang bersama dengan tentesan air mata yang keluar dari mataku.

-FIN

----

C u in the next journey

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selepas Hujan Sore Itu: God Knows The best

Selepas Hujan Sore Itu: To Push My Limit