Retak


“Sudahlah mas. Sudah..hhhh. Buat apa harus dipertahankan kalau mas saja tidak bisa mempertahankan komitmen.” ujar ibu lirih bahkan terdengar mensayat ditelingaku.
Tetesan air mata tak henti – hentinya mengalir dari mata sayunya, wajah ayunya sirna sudah, semua tentu  tidak akan tega melihat wanita yang biasanya tangguh perkasa penuh kasih sayang menangis tersedu – sedu, termasuk aku. Tapi apalah dayaku yang hanya seorang anak berusia tidak lebih dari 15 tahun. Hatiku seakan akan terkoyak oleh pisau yang dihuajamkan berkali – kali sunguh sangat sakit hingga rasanya aku ingin mati. Bersembunyi dibalik pintu pembatas ruang tamu dan kamarku dengan tangisan tanpa suara aku melihat ayahku yang tak bergeming dari kursi kayu yang didudukinya, kepalanya menunduk, sesekali mengusap frustasi rambut dan tengkuknya, wajahnya tampak putus asa.
“Aku mohon Mir maafkan aku…. Aku tahu aku salah. Aku khilaf Mir… aku mohon Mir….. aku tidak ingin jauh dari kamu dan Dara” sahut ayah tak kalah pilu.
Aku tidak tahu apa yang terjadi, ketika aku bangun dan tidak menemukan ibu yang biasanya mendekapku hangat lalu mengulas secercah senyum malikatnya.
“Khilaf hah? Untuk semua yang telah kau lakukan. kau masih berkata itu khilaf ? Tidak Gus tidak..” teriak ibu murka.
Matanya melebar dan jari telunjuknya diacungkan didepan wajah ayah, bahkan ibu memanggil ayah dengan namanya, sebegitukah ibu terluka ? apa yang sebenarnya terjadi ? Air mataku semakin deras mengalir, perlahan isakan – isakan kecil lolos dari bibir mungilku, tanganku terangkat mengusap tetesan air mata yang tak kunjung berhenti lalu menutup wajahku berharap semua ini tak pernah terjadi, dan ketika aku bangun nanti, aku akan menemukan ibu yang tersenyum padaku dan ayah yang mendekap aku serta mengecup keningku lembut, lalu mereka akan mengucapkan selamat pagi Dara.
Ayah berusaha menggapai jemari ibu, berharap bisa menggenggamnya lalu sedikit menghapus amarahnya, namun sayangnya, ketika genganggam itu hampir teraih ibu menarik tangannya menjauh.
“Jangan pernah sekali – kali kamu berani menyentuhku bahkan Dara sekalipun.” ibu mengatakan dengan setiap penekanan pada setiap katanya.
“Setidaknya untuk sekali ini saja. Tidakkah………” pinta ayah pilu.
“Tidak” jawab ibu mutlak tanpa mampu terbantahkan.
“Lebih baik. Angkat kaki dan ambil barangmu. Lalu pergi dari rumah ini.” lanjut ibu.
Suara dan wajahnya tampak datar, ayah yang mendengarnya langsung mendongak menatap wajah ibu, diwajahnya tampak ketidakpercayaan, ketika ingin menjawab, ibu terlebih dahulu memotongnya
“Tidak. Keputusanku sudah bulat. Kau tentu masih ingat dimana letak pintu keluarnya bukan ?” usir ibu secara halus
Ayah tidak lagi membantah kata – kata ibu. Melihat ayah yang bangkit dari kursi, aku berlari dan memeluknya. Seketika tubuh ayah menegang begitu pula dengan ibu, lalu ayah menunduk melepaskan pelukanku dan mensejajarkan tinginya.
“Ada apa Dera… Princess ayah yang paling cantik ? hmmm.” ayah berusaha menormalkan suaranya.
seulas senyum terbit diwajahnya, sayangnya senyum itu tak lagi mampu menghangatkan hatiku, perlahan kuangkat tanganku mengusap pipinya lembut, ayah meraih tanganku mengenggamnya lembut masih dengan senyum yang menggantung dibibirnya.
“Jadi….. Kenapa princess ayah bangun ?” tanya ayah
“Ayah mau kemana ?” jawabaku dengan pertanyaan.
“Ayah tidak kemana – mana sayang. Lihat ayah masih disini.” aku tahu ayah ingin menangis, itu tampak dari kaca tipis di bola mata hitamnya.
“Bohong. Ayah Bohong.” aku menjerit lalu terisak keras.
Tangannya terangkat mengusap buliran air mataku, lalu meraih tubuh mungilku kedalam dekapannya, tangan kananya begerak mengusap halus punggungku, sesekali kecupan hangat ku rasakan diatas rambutku, aku tahu ayah berusaha menenangkanku.
“Jadi. Apakah princess ayah akan kembali tidur ?” ucap ayah setelah keheningan yang cukup lama.
“Tentu.”
Aku berusaha mempercayai apa yang ayah katakan. Lalu kutarik jemarinya menuju kamar. Sebelumnya ayah menoleh menatap ibu sejenak, pandangannya seakan mengatakan bolehkah ? ketika ibu menganggukkan kepalanya ayah meraih tubuhku lalu menggendongnya hingga ke kamar. Membaringkan tubuhku dikasur, menarik selimut pinkku lalu jemari kokohnya mengusap lembut rambutku.
“Selamat malam princess ayah.” kuraskan kecupan hangat didahiku cukup lama.
“Ayah akan selalu ada didekatmu.” suara ayah terdengar tegas dan penuh akan janji didalamnya.
Walaupun aku tak tahu apakah ini benar. Setidaknya yang aku tahu, aku percaya karena ayah adalah pahlawan sekaligus pelindungku sampai kapanpun itu. Mataku terpejam sempurna jatuh ke dalam indahnya alam mimpi, disana kulihat ayah dan ibu tersenyum kearahku dengan tangan terlentang, aku mempercepat langkah kakiku lalu masuk kedelam dekapan hangatnya dengan senyum yang merekah sempurna. Aku tahu takdir Tuhan adalah yang terbaik.
***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Just a Friend: 4

Selepas Hujan Sore Itu: God Knows The best

Selepas Hujan Sore Itu: To Push My Limit