Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2020

Retak

“Sudahlah mas. Sudah..hhhh. Buat apa harus dipertahankan kalau mas saja tidak bisa mempertahankan komitmen.” ujar ibu lirih bahkan terdengar mensayat ditelingaku. Tetesan air mata tak henti – hentinya mengalir dari mata sayunya, wajah ayunya sirna sudah, semua tentu   tidak akan tega melihat wanita yang biasanya tangguh perkasa penuh kasih sayang menangis tersedu – sedu, termasuk aku. Tapi apalah dayaku yang hanya seorang anak berusia tidak lebih dari 15  tahun . Hatiku seakan akan terkoyak oleh pisau yang dihuajamkan berkali – kali sunguh sangat sakit hingga rasanya aku ingin mati. Bersembunyi dibalik pintu pembatas ruang tamu dan kamarku dengan tangisan tanpa suara aku melihat ayahku yang tak bergeming dari kursi kayu yang didudukinya, kepalanya menunduk, sesekali mengusap frustasi rambut dan tengkuknya, wajahnya tampak putus asa. “Aku mohon Mir maafkan aku…. Aku tahu aku salah. Aku khilaf Mir… aku mohon Mir….. aku tidak ingin jauh dari kamu dan Dara” sahut ayah tak ka...

Kepalsuan yang Sempurna

            Kuulurkan tanganku menyentuh rintikan hujan yang mengalir dari atap sekolah, menikmati setiap sentuhannya yang dingin, sayangnya ia tidak mampu untuk mendingkan perihnya luka dihatiku. Ketika angin berhembus menghembuskan rintikan hujan menuju diriku, perlahan kupejamkan mata menikmati setiap terpaan hujan yang membasahi wajahku, kuberharap ia mampu menyapu setiap luka yang telah tergores dalam hatiku. aku bukanlah manusia yang kuat untuk menahan setiap beban yang hinggap dipudakku juga memenuhi setiap relung jiwaku, aku hanyalah seorang remaja yang lemah dan membutuhkan tempat untuk bersandar. Air mataku jatuh perlahan bersamaan dengan rintikan hujan yang setia menerpa wajahku tanpa berniat menjauh sedikitpun, beban ini terlalu berat untuk mampu kupikul sendiri, tentang kepercayaan yang perlahan luntur dari diriku, tentang sahabat yang berubah menjadi teman, tentang trauma yang tidak kunjung sirna, tentang keluarga yang tidak baik – baik saja...