Retak
“Sudahlah mas. Sudah..hhhh. Buat apa harus dipertahankan kalau mas saja tidak bisa mempertahankan komitmen.” ujar ibu lirih bahkan terdengar mensayat ditelingaku. Tetesan air mata tak henti – hentinya mengalir dari mata sayunya, wajah ayunya sirna sudah, semua tentu tidak akan tega melihat wanita yang biasanya tangguh perkasa penuh kasih sayang menangis tersedu – sedu, termasuk aku. Tapi apalah dayaku yang hanya seorang anak berusia tidak lebih dari 15 tahun . Hatiku seakan akan terkoyak oleh pisau yang dihuajamkan berkali – kali sunguh sangat sakit hingga rasanya aku ingin mati. Bersembunyi dibalik pintu pembatas ruang tamu dan kamarku dengan tangisan tanpa suara aku melihat ayahku yang tak bergeming dari kursi kayu yang didudukinya, kepalanya menunduk, sesekali mengusap frustasi rambut dan tengkuknya, wajahnya tampak putus asa. “Aku mohon Mir maafkan aku…. Aku tahu aku salah. Aku khilaf Mir… aku mohon Mir….. aku tidak ingin jauh dari kamu dan Dara” sahut ayah tak ka...